![]() |
Warga masih melakukan aktivitas MCK di tepian kali dengan air yang kotor. |
Perilaku buang air besar warga Surabaya dengan menggunakan
toilet atau jamban masih cukup rendah, terbukti dengan masih digunkannya sungai
sebagai tempat buang air besar oleh kebanyakan masyarakat.
Data Bank Dunia menyebutkan terdapat sekitar 57 juta rakyat
Indonesia atau seperlima dari seluruh polulasi di Indonesia sebanyak 240 juta
orang, masih buang air besar sembarangan atau tidak pada jamban, toilet atau WC
(water closet). Sebagian besar dari warga yang masih buang air besar
sembarangan tinggal di pedesaan, atau berjumlah sekitar 40 juta orang. Dari
jumlah itu, setengahnya tidak memiliki akses sanitasi layak.
Bukan hanya Indonesia yang masyarakatnya masih banyak buang air
besar sembarangan, sekitar 1 miliar orang di seluruh dunia hampir berperilaku
buang air besar sembarangan. Sementara jumlah orang yang tidak memiliki akses
langsung terhadap toilet atau jamban layak, justru jauh lebih besar yaitu
sekitar 2,5 miliar orang.
Menanggapi fenomena itu, Universitas Kristen Petra Surabaya yang
merupakan anggota UNDK (University Network Of Digital Knowledge), serta
didukung oleh United Board, dan 11 Universitas di Indonesia melakukan mini
proyek yang memotret budaya penggunaan toilet oleh warga Surabaya. Kegiatan ini
bertujuan untuk menemukan dan mendokumentasikan perilaku orang Surabaya dalam
bertoilet, dan jenis toilet-toilet yang tersedia di Surabaya. Semua itu yang
disajikan dalam bentuk website, foto, video, ilustrasi drama serta
diaplikasikan di Google map.
“Kita ketahui toileting atau
proses menggunakan toilet adalah bagian dari culture, local
content. Budaya bertoilet ternyata masih buruk, dan juga banyak warga yang
belum pakai toilet untuk buang iar besar,” kata Aniendya Christianna, Dosen
Desain Komunikasi Visual UK Petra, sebagai salah satu penggagas kegiatan.
Selama beberapa bulan terakhir para mahasiswa dan disen yang
terlibat terjun ke masyarakat untuk melakukan pemotretan kondisi dan budaya
pemakaian toilet oleh warga di 3 kampung yang dijadikan sample. Selain itu tim
yang diterjunkan mendata variasi toilet yang digunakan oleh masyarakat, baik
toilet pribadi, toilet di tempat umum, hingga toilet di pinggir sungai.
“Dari sanalah kami menemukan berbagai permasalahan, sehingga
kami dapat menawarkan beberapa alternatif solusi. Salah satunya membuat salah
satu desain toilet yang ramah untuk difabel atau pengguna berkebutuhan khusus
seperti tuna netra, sehingga mudah digunakan untuk yang berkebutuhan khusus,”
ujar Aniendya.
Aniendya mengungkapkan bahwa sebenarnya proses
pembangunan-pembangunan fasilitas seperti toilet atau jamban ini berkaitan
dengan persoalan kesejahteraan masyarakat. Maka dari itu seharusnya pemerintah
ikut ambil bagian dalam kegiatan seperti ini, karena selama ini pemerintah
belum terlalu turun ke dalam untuk mengetahui bagaimana kondisi toilet warga.
“Kami memotret bahwa perilaku buang air besar sembarangan atau
di sungai masih banyak dilakukan masyarakat, yang ini menimbulkan permasalahan
tidak hanya soal kesehatan, melainkan juga pencemaran lingkungan. Masih ada
warga yang langsung cemplung ke kali (sungai), tapi ada juga yang ke WC meski
pembuangannya masih ke kali juga,” terang Gunawan Tanuwidjaja, selaku Project Coordinator Program UNDK, kepada Mongabay-Indonesia.
Gunawan mengutarakan, bahwa selain masih ada masyarakat yang
belum berperilaku hidup sehat dengan buang air besar di sungai, pola hidup
berupa mandi dan mencuci juga dilakukan di sungai yang tidak dapat dijamin
kesehatannya.
“Ini kebanyakan karena tingkat ekonomi masyrakat yang rendah,
serta tanah yang masih bukan milik warga karena berada di pinggir sungai.
Seperti di kampung stren kali Jagir, warga buang air besar disitu, padahal
mandi dan mencuci juga disitu,” ungkap Gunawan.
Belum terbiasanya masyarakat menggunakan jamban atau toilet
lanjut Gunawan, juga dipengaruhi oleh pendidikan serta pemahaman masyarakat yang
masih kurang mengenai kesehatan. Kebiasaan buang air besar dengan cara jongkok,
juga menjadi kendala seiring penyebaran model toilet duduk yang belum menjadi
kebiasaan.
“Orang yang perilaku hidupnya kurang sehat perlu kami advokasi
untuk mengubah pola pikir. Kami mengusulkan ada WC komunal yang lebih assessable bagi tuna netra dan juga warga kurang
mampu di kampung-kampung,” ujar Gunawan.
Meski ada yang memiliki toilet atau jamban, Gunawan masih
menemukan ada warga yang lebih suka buang air besar di sungai. Hal itu sekali
lagi dipengaruhi oleh kebiasaan, serta budaya penggunaan toilet oleh warga yang
masih rendah.
“Hasil dari ini semua kami buat untuk bahan sosialisasi, baik
berupa video, komik, yang itu akan diberikan ke masyarakat untuk menyadarkan
pentingnya MCK yang sehat dan fungsional,” tukasnya.
Aniendya Christianna berharap pemerintah dapat menindaklanjuti temuan persoalan ini, dengan menyediakan toilet atau ponten (WC umum) yang ada dengan sanitasi yang layak dan ramah lingkungan.
Aniendya Christianna berharap pemerintah dapat menindaklanjuti temuan persoalan ini, dengan menyediakan toilet atau ponten (WC umum) yang ada dengan sanitasi yang layak dan ramah lingkungan.
“Selama ini yang dibangun oleh masyarakat sendiri, sanitasinya dibuang ke sungai, dan sungai masih digunakan untuk kebutuhan sehari hari, sehingga kita tahu kesehatan dan kebersihan mereka tidak bisa terjamin,” ujar Aniendya Christianna.
Pengurangan jumlah masyarakat yang masih buang air besar sembarangan,
terutama ke sungai, akan sangat membantu mengurangi beban sungai dalam menerima
limpahan libah, baik dari industri maupun rumah tangga. Sedangkan sungai di
Surabaya, masih menjadi bahan baku utama air minum warga kota yang dikelola
oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM).
Terkait sanitasi, Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas) menyatakan telah merancang target, agar kebutuhan
infrastruktur dasar seperti sanitasi dan listrik dapat terpenuhi pada 2019
mendatang.
Sumber: http://www.mongabay.co.id/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar